Awam dan tabu bagi sebagian besar mahasiswa ketika membicarakan politik.
Selalu stereo tape negatif yang berkembang dikhalayak tentang istilah
politik. Implikasinya mahasiswa selalu apatis untuk melakukan
aktivitas–aktivitas yang berkaitan dengan politik. Kontradiksi dengan hakikat
mahasiswa secara ideal sebagaimana bahwa mahasiswa sebagai agen perubahan, iron
stock, yang secara kapasitas dan kapabilitas keilmuan harus
mengimplementasikannya dalam gagasan–gagasan kritis sebagai kontrol sosial
terhadap suatu hal atau suatu permasalahan.
Politik dalam pandangan klasik sebenarnya secara filosofi mengandung arti
yang sangat luar biasa. Dimana segala aktivitas politik merupakan hal–hal yang
dilakukan untuk mencapai kesepakatan dan kebaikan bagi bersama. Berawal dari
itu seharusnya mahasiswa mampu mengimplementasikan dan merealisasikannya dalam
gagasan kritisnya dengan tindakan politik yang seharusnya mereka lakukan.
Menjelang runtuhnya rezim era orde baru kita mengenal bagaimana ganasnya
mahasiswa untuk mengkritisi kebijakan–kebijakan pemerintah. Dimana mahasiswa
bersatu padu, satu tujuan, demi satu harapan yakni Indonesia yang lebih baik,
dan menuntut adanya kebebasan atau demokrasi yang sesungguhnya di negara ini
tanpa ada pemasungan hak–hak pribadi.
Namun, seiring berjalannya proses demokrasi dalam bangsa ini. Kita
cenderung melihat bahwa demokrasi yang abu–abu yang sekarang ini kita jalankan.
Tanpa ada kejelasan seperti apa demokrasi yang kita pakai saat ini?
Masuk dalam konteks politik kampus pasca reformasi, kehidupan organisasi
mahasiswa dan pergerakan mahasiswa semakin menggeliat dengan adanya kebebasan
berserikat dan berkumpul. Dengan telah dihapusnya aturan mengenai Normalisasi
Kehidupan Kampus Badan Koordinasi Mahasiswa, yang selama masa orde baru
mahasiswa dikekang sedemikian rupa oleh rezim yang berkuasa.
Penerapan demokrasi ormawa dikampus bisa terlihat di berbagai kampus–kampus
besar yang secara aktif mewarnai kehidupan politik kampusnya dan berkontribusi
terhadap proses politik nasional dengan berbagai pergerakannya. Selain kita
bisa lihat dengan adanya Pemilihan Raya di Ormawa–ormawa kampus, baik untuk
memilih ketua BEM, maupun Presiden Mahasiswa. Implikasi positif yang bisa kita
ambil adalah peran serta mahasiswa keseluruhan secara aktif dalam proses
politik itu sendiri, dan tidak cenderung apatis.
MUSYAWARAH DAN DEMOKRASI? Bagaimana kaitannya antara musyawarah dan proses
demokrasi kampus? Memang secara esensi musyawarah juga merupakan salah satu proses
demokrasi dimana kita membicarakan berbagai hal untuk menghasilkan mufakat
bersama. Namun yang harus kita kritisi bersama, musyawarah yang kita jalankan
saat ini di kampus perjuangan adalah musyawarah perwakilan. Dimana hanya
segelintir mahasiswa yang masuk dalam forum – forum musyawarah mahasiswa.
Secara objektif, banyak kelebihan dan kelemahan dari proses musyawarah
mahasiswa ini. Namun dampak negatif yang bisa kita kerucutkan tentang
musyawarah mahasiswa ini ada beberapa hal. Pertama, dengan musyawarah
mahasiswa yang diwakili segelintir mahasiswa tidak mampu mencerminkan suara
mahasiswa secara umum, dan menyebabkan mahasiswa lain diluar forum bersifat
apatis. Kita contohkan dengan pemilihan PRESIDEN MAHASISWA, dimana peserta
forum MAM merupakan delegasi BEM dan BLM Fakultas, secara kelembagaan fakultas
memang mewakili, tapi suara mahasiswa secara umum tidak mampu untuk dicerminkan
dengan perwakilan beberapa orang. Presiden Mahasiswa yang notabene pemimpin
mahasiswa satu universitas nantinya, sangat tidak ideal bila tidak diketahui
rakyatnya (mahasiswa).
Kedua, dengan musyawarah mahasiswa yang diwakili segelintir
mahasiswa akan memiliki tendensi dibubuhi banyak kepentingan, baik kepentingan
individu, golongan tertentu maupun calon ketua ormawa itu sendiri. Dampaknya,
kekuasaan hanya digunakan sebagai sarana atau jalan untuk mencapai kepentingan
pribadi maupun golongan.
Ketiga, dengan adanya musyawarah mahasiswa yang diwakili
segelintir mahasiswa itu suatu pembodohan bagi mahasiswa secara keseluruhan.
Dimana tidak adanya pendidikan politik bagi seluruh mahasiswa dan informasi
yang tidak merata bagi seluruh mahasiswa.
Dari beberapa pemaparan dampak negatif Musyawarah Mahasiswa, kita bisa
lihat bahwa ternyata proses demokrasi mahasiswa di kampus sangat terpasung, dan
bisa dibilang lebih parah dibanding era orde baru. Dimana dengan musyawarah
mahasiswa, mahasiswa awam dibelenggu hak – hak politiknya, dan dibuat apatis
secara sistematis. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua yang peduli akan
sebuah perbaikan.
Akan tetapi, disini ada tawaran yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki
keadaan tersebut. Pertama, dengan menggagas format Pemilihan Raya
(PEMIRA) untuk setiap pemilihan ketua organisasi mahasiswa di lingkungan kampus
perjuangan. Dimana dengan adanya pemilihan raya, mahasiswa dapat memperoleh
informasi yang merata dan berperan aktif untuk memberikan sumbangsinya dengan
memilih secara langsung. Sehingga mengurangi mahasiswa yang bersifat apatis dan
pendidikan politik pun merata kepada semua mahasiswa.
Dan mengenai musyawarah mahasiswa, kita bisa tetap mempertahankannya. Akan
tetapi subtansi yang dibahas dalam musyawarah mahasiswa bisa kita ganti dengan
agenda legislasi misalnya pembuatan aturan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah
Tangga Organisasi, garis–garis besar haluan kerja organisasi, program kerja
organisasi, dan evaluasi program kerja periode sebelumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar