Selasa, 13 Januari 2015

Politik Di Kampus



Awam dan tabu bagi sebagian besar mahasiswa ketika membicarakan politik. Selalu stereo tape negatif yang berkembang dikhalayak tentang istilah politik. Implikasinya mahasiswa selalu apatis untuk melakukan aktivitas–aktivitas yang berkaitan dengan politik. Kontradiksi dengan hakikat mahasiswa secara ideal sebagaimana bahwa mahasiswa sebagai agen perubahan, iron stock, yang secara kapasitas dan kapabilitas keilmuan harus mengimplementasikannya dalam gagasan–gagasan kritis sebagai kontrol sosial terhadap suatu hal atau suatu permasalahan.

Politik dalam pandangan klasik sebenarnya secara filosofi mengandung arti yang sangat luar biasa. Dimana segala aktivitas politik merupakan hal–hal yang dilakukan untuk mencapai kesepakatan dan kebaikan bagi bersama. Berawal dari itu seharusnya mahasiswa mampu mengimplementasikan dan merealisasikannya dalam gagasan kritisnya dengan tindakan politik yang seharusnya mereka lakukan.

Menjelang runtuhnya rezim era orde baru kita mengenal bagaimana ganasnya mahasiswa untuk mengkritisi kebijakan–kebijakan pemerintah. Dimana mahasiswa bersatu padu, satu tujuan, demi satu harapan yakni Indonesia yang lebih baik, dan menuntut adanya kebebasan atau demokrasi yang sesungguhnya di negara ini tanpa ada pemasungan hak–hak pribadi.

Namun, seiring berjalannya proses demokrasi dalam bangsa ini. Kita cenderung melihat bahwa demokrasi yang abu–abu yang sekarang ini kita jalankan. Tanpa ada kejelasan seperti apa demokrasi yang kita pakai saat ini?

Masuk dalam konteks politik kampus pasca reformasi, kehidupan organisasi mahasiswa dan pergerakan mahasiswa semakin menggeliat dengan adanya kebebasan berserikat dan berkumpul. Dengan telah dihapusnya aturan mengenai Normalisasi Kehidupan Kampus Badan Koordinasi Mahasiswa, yang selama masa orde baru mahasiswa dikekang sedemikian rupa oleh rezim yang berkuasa.

Penerapan demokrasi ormawa dikampus bisa terlihat di berbagai kampus–kampus besar yang secara aktif mewarnai kehidupan politik kampusnya dan berkontribusi terhadap proses politik nasional dengan berbagai pergerakannya. Selain kita bisa lihat dengan adanya Pemilihan Raya di Ormawa–ormawa kampus, baik untuk memilih ketua BEM, maupun Presiden Mahasiswa. Implikasi positif yang bisa kita ambil adalah peran serta mahasiswa keseluruhan secara aktif dalam proses politik itu sendiri, dan tidak cenderung apatis.

MUSYAWARAH DAN DEMOKRASI? Bagaimana kaitannya antara musyawarah dan proses demokrasi kampus? Memang secara esensi musyawarah juga merupakan salah satu proses demokrasi dimana kita membicarakan berbagai hal untuk menghasilkan mufakat bersama. Namun yang harus kita kritisi bersama, musyawarah yang kita jalankan saat ini di kampus perjuangan adalah musyawarah perwakilan. Dimana hanya segelintir mahasiswa yang masuk dalam forum – forum musyawarah mahasiswa.

Secara objektif, banyak kelebihan dan kelemahan dari proses musyawarah mahasiswa ini. Namun dampak negatif yang bisa kita kerucutkan tentang musyawarah mahasiswa ini ada beberapa hal. Pertama, dengan musyawarah mahasiswa yang diwakili segelintir mahasiswa tidak mampu mencerminkan suara mahasiswa secara umum, dan menyebabkan mahasiswa lain diluar forum bersifat apatis. Kita contohkan dengan pemilihan PRESIDEN MAHASISWA, dimana peserta forum MAM merupakan delegasi BEM dan BLM Fakultas, secara kelembagaan fakultas memang mewakili, tapi suara mahasiswa secara umum tidak mampu untuk dicerminkan dengan perwakilan beberapa orang. Presiden Mahasiswa yang notabene pemimpin mahasiswa satu universitas nantinya, sangat tidak ideal bila tidak diketahui rakyatnya (mahasiswa).

Kedua, dengan musyawarah mahasiswa yang diwakili segelintir mahasiswa akan memiliki tendensi dibubuhi banyak kepentingan, baik kepentingan individu, golongan tertentu maupun calon ketua ormawa itu sendiri. Dampaknya, kekuasaan hanya digunakan sebagai sarana atau jalan untuk mencapai kepentingan pribadi maupun golongan.

Ketiga, dengan adanya musyawarah mahasiswa yang diwakili segelintir mahasiswa itu suatu pembodohan bagi mahasiswa secara keseluruhan. Dimana tidak adanya pendidikan politik bagi seluruh mahasiswa dan informasi yang tidak merata bagi seluruh mahasiswa.

Dari beberapa pemaparan dampak negatif Musyawarah Mahasiswa, kita bisa lihat bahwa ternyata proses demokrasi mahasiswa di kampus sangat terpasung, dan bisa dibilang lebih parah dibanding era orde baru. Dimana dengan musyawarah mahasiswa, mahasiswa awam dibelenggu hak – hak politiknya, dan dibuat apatis secara sistematis. Ini menjadi pekerjaan rumah bagi kita semua yang peduli akan sebuah perbaikan.

Akan tetapi, disini ada tawaran yang bisa kita lakukan untuk memperbaiki keadaan tersebut. Pertama, dengan menggagas format Pemilihan Raya (PEMIRA) untuk setiap pemilihan ketua organisasi mahasiswa di lingkungan kampus perjuangan. Dimana dengan adanya pemilihan raya, mahasiswa dapat memperoleh informasi yang merata dan berperan aktif untuk memberikan sumbangsinya dengan memilih secara langsung. Sehingga mengurangi mahasiswa yang bersifat apatis dan pendidikan politik pun merata kepada semua mahasiswa.

Dan mengenai musyawarah mahasiswa, kita bisa tetap mempertahankannya. Akan tetapi subtansi yang dibahas dalam musyawarah mahasiswa bisa kita ganti dengan agenda legislasi misalnya pembuatan aturan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Organisasi, garis–garis besar haluan kerja organisasi, program kerja organisasi, dan evaluasi program kerja periode sebelumnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar